Damkarnews.com, BANJAR,- Kasus keracunan massal program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Banjar yang menimpa 134 siswa dan guru di delapan sekolah tampaknya bukan sekadar soal nasib buruk. Fakta baru mengungkap, panduan resmi soal standar keamanan dapur MBG sudah diterbitkan pemerintah pusat sejak tahun 2024 tapi diduga diabaikan!
Surat Edaran (SE) Kementerian Kesehatan RI Nomor HK.02.02/C/319/2024, yang ditandatangani Plt Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Yudi Pramono pada 30 Desember 2024, secara jelas mengatur dukungan pelaksanaan, pembinaan, dan pengawasan keamanan pangan olahan siap saji dalam program MBG.
Tujuannya sederhana tapi vital: mencegah terulangnya kasus keracunan makanan. Dalam SE itu disebutkan, sepanjang 2024 tercatat 304 kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di Indonesia dengan 11.213 korban dan 15 di antaranya meninggal dunia.
Ironisnya, panduan itu sudah ada berbulan-bulan sebelum tragedi Martapura terjadi.
Hasil uji laboratorium yang dilakukan Dinas Kesehatan Banjar mengungkap fakta mengejutkan: makanan yang disantap para siswa mengandung zat beracun dan bakteri berbahaya.
Plt Kadinkes Banjar Noripansyah menyebut, nasi kuning dan buah melon dari menu MBG itu mengandung nitrit dan bakteri Escherichia coli (E. Coli) dalam kadar tinggi.
“Kadar kuman dalam nasi kuning mencapai 1,9 x 10², melon 1,6 x 10². Bahkan airnya mengandung E. Coli dengan nilai 265, padahal seharusnya nol,” ungkap Noripansyah, Kamis (15/10/2025).
Tak hanya itu, sayuran yang dikonsumsi juga mengandung nitrit dengan nilai 10, yang tergolong berbahaya bagi tubuh. Akibatnya, puluhan siswa mengalami mual, muntah, hingga diare massal.
“Kandungan toksin itu bisa berasal dari bahan makanan, pengolahan, maupun penjamah makanan. Semua harus dievaluasi,” tegasnya.
Dalam panduan Kemenkes 2024, setiap penyedia MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) wajib memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) sebelum dapur beroperasi.
Namun ketika ditanya apakah dapur MBG di Banjar sudah bersertifikat, jawaban Noripansyah justru menimbulkan tanda tanya besar.
“Saya tidak tahu. Tapi semestinya harus dikantongi oleh mereka (Jasa Boga/SPPG) sebelum beroperasi,” ujarnya.
Pernyataan ini menimbulkan keheranan publik: bagaimana mungkin dapur tanpa sertifikat laik higienis bisa memasak ribuan porsi untuk anak sekolah.
Kemenkes bahkan telah memperbarui aturannya melalui SE terbaru Nomor: HK.02.02/C.I/4202/2025 tertanggal 1 Oktober 2025, yang ditandatangani Plt Dirjen Penanggulangan Penyakit Murti Utami.
Edaran itu menegaskan kembali bahwa seluruh dapur MBG harus lolos Inspeksi Kesehatan Lingkungan (IKL) dan Higiene Sanitasi Pangan (HSP) sebelum mengolah makanan.
Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Kasus Martapura telah mencoreng nama baik program nasional yang seharusnya membawa gizi bukan penyakit ke meja makan siswa.
Kini, masyarakat Banjar menanti langkah tegas pemerintah daerah. Apakah akan ada evaluasi menyeluruh terhadap dapur MBG yang beroperasi tanpa izin higienis
Ataukah kasus ini akan berakhir tanpa kepastian, sementara ratusan anak sudah menjadi korban gizi beracun.






