Damkarnews.com, BANJAR,– Lonjakan kasus HIV di Kalimantan Selatan sepanjang 2025 kembali menyoroti pentingnya kesiapan regulasi daerah dalam penanganan epidemi. Kabupaten Banjar, yang tercatat menyumbang 66 kasus baru, kini berada dalam sorotan sebagai wilayah yang membutuhkan langkah kebijakan lebih serius dan terukur.
Anggota DPRD Kabupaten Banjar, M Ali Syahbana, menilai bahwa persoalan HIV di daerahnya tak bisa lagi ditangani hanya dengan pendekatan medis atau sosialisasi biasa. Menurutnya, tingginya angka kasus menunjukkan bahwa Banjar membutuhkan payung hukum yang kuat untuk memastikan layanan penanganan HIV berjalan ramah, aman, dan bebas diskriminasi.
“Ini bukan sekadar soal penambahan data kasus. Ini alarm bahwa Kabupaten Banjar masih kekurangan regulasi yang melindungi penyintas HIV dan kelompok berisiko,” ujarnya, Kamis (11/12).
Ali menegaskan bahwa diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) masih menjadi hambatan besar dalam pengendalian epidemi. Meski edukasi kesehatan terus dilakukan, tanpa aturan yang mengikat, banyak penyintas masih menghadapi penolakan di lingkungan sosial maupun fasilitas layanan.
“Kita belum memiliki regulasi teknis yang jelas tentang standar layanan ramah ODHA, pendampingan kelompok berisiko, hingga sanksi terhadap tindakan diskriminatif. Ini kelemahan yang harus segera diperbaiki,” tegasnya.
Dalam beberapa kasus, katanya, masih ditemukan tenaga kesehatan yang kurang peka terhadap kerahasiaan identitas pasien, atau masyarakat yang mengucilkan penyintas karena ketidaktahuan cara penularan.
Ia menilai bahwa Perda khusus penanggulangan HIV serta pedoman teknis layanan perlu disusun agar seluruh lini pemerintahan memiliki landasan tindakan yang konsisten.
Ali mengakui bahwa stigma masih menjadi faktor paling menghambat penanggulangan HIV di Banjar. Banyak orang berisiko tinggi, termasuk pekerja seks komersial dan pengguna narkoba suntik, enggan melakukan tes karena takut mendapat label negatif.
“Selama stigma belum diberantas, kita tidak akan mampu memutus rantai penularan. Orang akan terus takut memeriksakan diri, dan itu bahaya,” ujarnya.
Menurutnya, regulasi yang tegas dapat melindungi kerahasiaan identitas pasien, memastikan tenaga kesehatan memakai bahasa non-diskriminatif, serta membuka akses terapi ARV bagi semua penyintas tanpa hambatan.
Sebagai Sekretaris LDNU Banjar, Ali menekankan bahwa upaya penanggulangan HIV harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk tokoh agama. Namun keterlibatan ini, katanya, harus didukung regulasi yang memberi ruang bagi kolaborasi lintas sektor.
“Dakwah yang humanis, edukasi komunitas yang terstruktur, dan pendampingan berkelanjutan hanya bisa berjalan efektif jika ada kebijakan yang mengatur peran masing-masing pihak,” ucapnya.
Ia menilai bahwa pemerintah daerah dapat memasukkan komponen partisipasi tokoh agama, komunitas, dan pemuda ke dalam strategi daerah dalam bentuk Rencana Aksi Daerah atau Peraturan Bupati.
Sebelumnya, Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan mencatat total 632 kasus baru HIV sepanjang 2025. Banjarmasin menjadi penyumbang terbesar dengan 219 kasus, disusul Banjarbaru 75 kasus, Banjar 66 kasus, HST 49 kasus, dan Tanah Bumbu 48 kasus.
Dinkes Kalsel menyebut pola ini konsisten terjadi di kota besar dan wilayah padat penduduk yang memiliki mobilitas tinggi dan akses skrining lebih aktif.
Ali menutup pernyataannya dengan penegasan bahwa Kabupaten Banjar butuh langkah cepat, bukan hanya kampanye atau imbauan.
“Jika kita ingin angka kasus baru menurun, maka perangkat hukum harus lebih kuat. Regulasi adalah fondasi agar layanan berjalan manusiawi, aman, dan efektif,” pungkasnya.
Menurutnya, dengan kombinasi kebijakan tegas, edukasi publik, dan layanan kesehatan yang inklusif, Banjar dapat mengendalikan epidemi secara signifikan dalam beberapa tahun ke depan.






